Tuesday 24 March 2015

Universitas manapun bisa dapat beasiswa Australia AAS 2015

Universitas manapun bisa dapat beasiswa Australia AAS 2015

Beasiswa AAS

 

Pernahkah Anda mendengar nama “Universitas Katolik Widya Mandira” ? Jika Anda tidak berasal dari NTT dan kurang gaul seperti saya, mungkin jawabannya adalah “tidak”. Terus terang saya belum pernah mendengar nama universitas ini sampai akhirnya saya bertemu Cilla. Nama lengkapnya Priscilla Maria Assis Hornay. Just in case you are wondering, YES, there is an ‘a’ between ‘n’ and ‘y’ in her last name, so shut it and let’s get down to business! :)
Pertemuan saya dengan Cilla di Sydney mengingatkan saya pada banyak pertanyaan yang saya terima perihal beasiswa luar negeri, terutama beasiswa Australia Awards Scholarship (AAS) atau yang dulu disebut Australian Development Scholarship (ADS). Pertanyaan itu adalah “bisakah alumni dari universitas swasta yang tidak terkenal mendapatkan beasiswa untuk S2 atau S3 di luar negeri?” Jawabannya tentu saja “bisa” dan pertemuan saya dengan Cilla menegaskan itu.

cilla
Foto dipinjam dari Facebook-nya Cilla
Cilla berasal dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan merupakan alumni dari Universitas Katolik Widya Mandira di Kupang. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Cilla memutuskan untuk bekerja sebagai dosen di almamaternya. Ketika tulisan ini saya buat, Cilla ada di penggal terakhir perjuangannya menyelesaikan program master (S2) di bidang Education and TESOL (combined degree) di University of New South Wales (UNSW), Sydney, Australia. Cilla menyelesaikan program itu dengan Beasiswa ADS/AAS dari Australian Agency for International Development (AusAID). Saat saya tuliskan ini, Cilla bahkan sedang menikmati keindahan New Zealand yang konon ajaib. Wajar, Cilla memberi ‘hadiah’ pada dirinya yang sudah berjuang keras selama dua tahun menyelesaikan program master di UNSW sebelum kembali untuk mengabdi di tanah air tercinta.
Cilla adalah jawaban tegas terhadap pertanyaan yang sering saya terima. Alumni dari sebuah universitas swasta yang tidak terkenal sekalipun berhak dan bisa mendapat beasiswa AAS untuk sekolah S2 di institusi keren di Australia. Ketika mendaftar, katanya Cilla menggunakan TOEFL IBT (Internet-Based TOEFL) dengan skor 76. Ini setara dengan 540-543 dalam PBT (paper-based) TOEFL. Saya lega mendengar ini karena ternyata Cilla adalah ‘manusia biasa’ seperti saya dan kebanyakan dari kita. Dengan nilai TOEFL yang tidak spektakuler, Cila bisa mendapatkan beasiswa AAS. Inilah berita baiknya dan ini yang membuat saya semakin bersemangat bertanya. Percakapan kami soal beasiswa AAS ini terjadi di Sydney Harbour sambil menikmati wibawa Sydney Opera House di satu senja. Romantis? Tentu saja romantis karena Asti, isteri saya, ada di sana juga :). Just in case you are wondering.
Penasaran, saya tanya bagaimana ceritanya Cilla bisa mendapat beasiswa AAS. Cilla bilang, dia tahu Beasiswa AAS dari kawannya yang bekerja di Universitas Nusa Cendana (UNDANA), sebuah universitas negeri di Kupang. Rupanya, informasi Beasiswa AAS memang cukup umum di UNDANA tetapi tidak terdengar di Universitas Katolik Widya Mandira. BTW, setiap kali harus menulis nama universitasnya Cilla, saya harus copas karena memang tidak mudah menghafalkannya, if you know what I mean. Peace Cilla :) Cilla beruntung mendapatkan informasi Beasiswa AAS dari kawannya itu. Jika tidak, mungkin ceritanya akan lain. Cilla juga menegaskan, dia belum pernah mendengar tentang beasiswa AusAID ini (ADS maupun AAS) saat kuliah S1. Mungkin karena jarang, kalaupun ada, dosennya yang mendapatkan beasiswa ini sehingga tidak banyak yang bisa berbagi. Penyebaran informasi adalah kunci.
Ketika saya tanya soal persiapan, Cilla menjawab tidak ada persiapan khusus. Selain mencari informasi sendiri, dia bertanya kepada yang sudah berpengalaman tentang pengisian formulir, wawancara/interview dan tes IELTS. Tentu saja jumlah orang yang ditanyai terbatas dan itu menghadirkan kesulitan tersendiri dalam proses seleksi. Selain jarangnya senior dan kolega Cilla yang mendapatkan beasiswa AAS/ADS ini, ada juga ‘isu’ bahwa beasiswa ini lebih mengutamaksn dosen dari universitas negeri. Memahami itu, Cilla sempat merasa khawatir dan ragu. Meski begitu, Cilla tidak mengurungkan niat dan dia tetap melangkah meskipun dengan keraguan. Modalnya adalah keberanian bermimpi dan melakukan sesuatu yang orang-orang di sekitarnya tidak [mau/sempat/berani] lakukan.
Ketika ditanya apakah Cilla melihat ada diskriminasi antara swasta dengan negeri, dengan positif Cilla menjawab “saya tidak bisa mengatakan ada diskriminasi tapi memang pada waktu itu terlihat bahwa informasi soal AAS/ADS hanya beredar di UNDANA dan kebanyakan alumni AAS/ADS berasal dari UNDANA atau lulusan UNDANA”. Saya pahami, situasi ini membuat penyebaran informasi menjadi kurang merata. Ada konsentrasi informasi pada institusi-institusi negeri yang besar sehingga kesempatan untuk mereka di institusi swasta, apalagi yang lebih kecil, menjadi rendah. Seperti ditegaskan oleh Cilla, “jadi saya pikir mungkin bukan karena diskriminasi tapi tidak adanya akses terhadap informasi saja”. Lebih lanjut, Cilla berpendapat bahwa asal daerah jadi cukup berpengaruh karena distribusi informasi tidak menyebar merata ke daerah-daerah di luar Kupang sehingga lebih banyak pendaftar berasal dari Kupang. Sementara itu, menurut Cilla, daerah-daerah lain di NTT juga memiliki cukup banyak perguruan tinggi swasta yang punya potensi.
Apa sih hal penting yang membuat Cilla diterima? Dia merasa adanya motivasi yang cukup kuat untuk kembali ke NTT dan mengabdi pada bidang pendidikan adalah salah satu kunci keberhasilanya. Selain itu, kemampuan berbahasa Inggris juga menurutnya cukup berpengaruh. Saat ditanya soal kompetisi dengan para kandidat dari universitas yang lebih besar seperti UNDANA, Cilla merasakan memang ada perbedaan. Menurutnya, kandidat dari institusi yang lebih besar ini terlihat lebih siap karena cukup familiar dengan IELTS, misalnya. Menurut Cilla, mereka juga tahu lebih banyak atau punya banyak informasi soal pendidikan di Australia. Tentu saja ini terjadi karena mereka memiliki lebih banyak sumber informasi mengingat banyak kolega dan senior mereka yang sudah mendapatkan beasiswa AAS/ADS ini. Ini adalah ‘kelemahan’ Cilla sebagai seorang kandidat yang berasal dari universitas swasta dengan jumlah penerima ADS/AAS yang sangat sedikit, jikapun ada. Singkatnya, Cilla tidak punya banyak tempat untuk bertanya. Meski demikian, Cilla menambahkan bahwa sekarang ini sosialisasi Beasiswa AAS/ADS mulai menyebar merata dan dia berharap informasi ini juga bisa sampai ke perguruan tinggi di daerah-daerah terpencil untuk memperluas kesempatan.
Pandangan Cilla soal informasi ini membuat saya merenung. Di tengah limpahan informasi di internet dewasa ini, ternyata masih banyak orang yang merasa sulit mendapatkan informasi. Ternyata, kuncinya bukanlah ketersediaan tetapi kemauan dan ketekunan mencari informasi. Bagi Cilla dan teman-temannya di NTT yang bahkan belum pernah mendengar perihal beasiswa luar negeri, kehadiran seorang pemandu mejadi penting. Di sinilah diperlukan kehadiran seseorang yang berbaik hati membuka wawasan anak-anak muda itu, tidak dengan menyuapinya dengan informasi tetapi dengan membuka dan memantik rasa penasaran mereka. Jika saja rasa penasaran itu berhasil dibangkitkan, maka mencari informasi tentu bukan perkara sulit di tengah ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini. Jika seseorang bisa menulis status di Facebook atau Twitter setiap lima menit sekali, tentu tidak sulit bagi mereka untuk mendapat informasi tentang Beasiswa AAS. Mereka hanya perlu satu orang yang membangunkan rasa penasaran mereka dari tidur yang panjang.
Terkait pengalaman sekolah di Australia, Cilla mengatakan bahwa tantangan yang dia hadapi adalah tuntutan untuk membaca begitu banyak bahan kuliah. Cilla menegaskan bahwa kurangnya budaya membaca saat kuliah S1 menjadi kendala utama ketika studi di Australia. Melihat begitu tinggi tuntutan untuk membaca, Cilla merasa bahwa dia dan teman-temannya seakan-akan memang tidak terlalu dipersiapkan untuk bersekolah ke negara maju yang sistem pendidikannya bagus. Lebih jauh, Cilla mengatakan bahwa sebenarnya banyak universitas top di Indonesia berada di posisi yang lebih siap karena memiliki fasilitas pusat bahasa atau language center untuk membantu dosen atau mahasiswanya dalam menyiapkan tes TOEFL dan IELTS. Kata dia, universitasnya bahkan tidak memiliki pusat bahasa dan itu juga merupakan kelemahan tersendiri bagi alumni universitas swasta yang belum maju untuk bersaing mendapatkan beasiswa luar negeri.
Ketika saya tanya soal tips untuk para pejuang beasiswa AAS di masa depan, Cilla memberi pandangan sederhana yang jitu. Menurutnya, pejuang beasiswa luar negeri, khususnya AAS, jangan sampai termakan oleh informasi negatif yang mengurungkan niat untuk mendaftarkan diri. Lebih lanjut dia menegaskan, selama punya motivasi untuk mengabdi bagi Indonesia di bidang masing-masing, maka itu sudah menjadi modal yang sangat bagus. Percakapan saya dengan Cilla menjawab tuntas keraguan banyak orang selama ini. Memang menyenangkan bisa kuliah S1 di universitas yang mentereng dan bergengsi tetapi menjadi alumni universitas yang tidak terpandang bukan satu alasan bagi kita untuk tidak bisa mencapai sesuatu yang tinggi. Tidak penting apakah Anda pernah mendengar “Universitas Katolik Widya Mandira”. Yang penting adalah kita tahu di sana ada Cilla yang semoga akan melahirkan Cilla-Cilla yang lain. Pada akhirnya, ini adalah soal kualitas diri. It is all about you. We need “U” for a “S_CCESS”.


Semoga sukses dalam modifikasi sobat sobat otomotif
Jangan lupa kunjungi blog kami yang lain ya .
Blog kata kata untuk yang galau atau untuk yang sedang jatuh cinta
Blog lowongan kerja
Blog informasi beasiswa terbaru 2015
Blog Modifikasi motor terbaru
Blog daftar harga mobil baru
Blog informasi dunia percetakan dan printer terbaru


0 komentar:

Post a Comment

Jadilah orang yang memberikan komentar yang baik untuk semuanya!

Twitter

Artikel Populer

Blog Archive

Template Ini Di buat oleh Blog Informasi dan Berita Unik Terbaru ( Zain Fikri H ) yang didukung oleh Blogger